Rabu, 19 Oktober 2011

2 komentar

Bersyukurlah Menjadi Mahasiswa

Sudah lebih dari dua minggu saya menjalani kehidupan menjadi seorang karyawati di Ibu kota. Melihat kembali ke belakang, betapa kehidupan menjadi mahasiswa adalah salah satu surga dunia. Kebebasan--begitu melekat erat pada mahasiswa yang baru saya sadari sekarang:

1. Mahasiswa tidak terkekang pada rutinitas
Tidak seperti kebanyakan pekerja dan pelajar yang harus ke kantor atau sekolah setiap senin hingga jumat atau sabtu. Waktu yang dihabiskan pada hari-hari tersebut pun sebagian besar habis di kantor atau sekolah. Saya menjalani lima dari tujuh hari waktu saya ke kantor dan menghabiskan 13 jam di kantor ditambah dengan waktu perjalanan. Jika saya butuh tidur 6-7 jam, maka waktu saya yang tersisa hanya 4-5 jam di hari kerja untuk melakukan aktivitas lain seperti bermain dan bersantai T-T. Bandingkan dengan mahasiswa, 3 sks mahasiswa senilai dengan 2,5 jam, dan jika mahasiswa mengambil 24 sks per semester, berarti dalam seminggu mahasiswa hanya perlu menghabiskan waktu di kampus untuk kuliah saja 20 jam!

2. Peraturan bagi mahasiswa memiliki lebih banyak celah
Ketika saya menjadi mahasiswa, saya memiliki allowance untuk absen sebanyak 3x setiap mata kuliah. Jika per mata kuliah dianggap 3 sks, maka dalam satu semester saya memiliki kesempatan "meliburkan diri" sebanyak 24 pertemuan. Belum lagi ada TA yang bisa dimanfaatkan! Melihat saya sebagai pekerja sekarang, jatah saya meliburkan diri hanya 12 hari dalam setahun, dan tentunya tidak mengenal TA dan tidak bisa bolos sembarangan.

See? Benar-benar begitu indahnya masa-masa berkuliah. Pikiran menangguhkan memasuki dunia karir ketika telah melepas status mahasiswa sayangnya sulit diterima lingkungan sekitar. Konotasinya negatif di mata masyarakat kita ini.

Tapi tulisan ini tentunya tentunya hanya berlaku untuk beberapa pekerjaan saja. Wiraswasta salah satu contohnya, hal-hal yang saya sebutkan tentunya menjadi tidak relevan. Seandainya saja saya kreatif, saya pasti lebih ingin berwiraswasta, sayang...

Saya menulis post ini berdasarkan pemikiran kebebasan yang saya sadari tidak saya syukuri sewaktu saya memilikinya dahulu. Tetapi bukan berarti saya tidak mensyukuri hidup saya sekarang, hanya merasa "iri" saja. Tetapi, waktu terus bergulir, dan saya yakin akan ada banyak hal yang bisa menggantikan kebebasan yang tidak lagi dimiliki sewaktu menjadi mahasiswa. So, let's go through every day with smile!!

Selasa, 24 Mei 2011

3 komentar

Letter to the Future

Hal tersebut terlintas dalam benak saya hari ini. Ide tersebut sebetulnya bukan ide baru, sebelum-sebelumnya juga terkadang muncul. Saya biasanya menulis semacam "diary" untuk kemudian saya tertawakan ketika saya baca lagi stelah lewat beberapa waktu. Pikiran itu juga bukan pikiran orisinil saya, karena sebelumnya saya membaca komik serta drama yang berasal dari negeri kimchi yang berjudul "Daddy Long Legs" dimana sang tokoh utama membaca email masuk yang ditujukan seseorang untuk dirinya sendiri di masa depan. Kisah bagaimana dia mencintai seseorang namun harus menyerah sebelum sempat mengutarakannya karena ingatannya digerogoti oleh penyakit parah.


Ide tersebut membawa saya ngutak-atik ya****mail dan *mail, jikalau mereka memiliki fungsi tersebut. Tapi berhubung saya agak "Gagap Teknologi", maka saya tidak menemukan fitur untuk menunda penyampaian pesan di waktu mendatang. Kemudian menjelajah go***e, dan menemukan web yang menyediakan jasa tersebut. Web ini bisa kita gunakan sebagai pengingat diri, saya juga melihatnya sebagai motivasi diri sendiri akan cita-cita, harapan, komitmen, serta perasaan masa kini. Agak seperti diary, namun kamu tidak akan melihatnya sebelum surat elektronik tersebut sampai dalam kotak suratmu.

Bagi kalian yang berminat mencobanya sendiri, silakan mencoba membuka situs http://futureme.org atau http://emailfuture.com atau mungkin masih banyak web lain yang menyediakan jasa semacam ini, tanyalah pada mbah go***e. Dalam halaman "tulis pesan"nya, terdapat tanggal pengiriman, di situ kita bisa tentukan kapan surat akan diterima. Kita tidak perlu sign up, tetapi dia meminta verifikasi dari alamat email tujuan begitu kita klik send. Sehingga buat kita yang mau bikin surprise ke seseorang, minimal orang tersebut akan tahu dia akan menerima surat dari kita tertanggal sekian. Tapi kalau surat tersebut dibuat untuk diri sendiri, ya hal tersebut tentunya tidak perlu dipikir pusing, hehe....

Oke cukup sekian tulisan kali ini. Silakan mencoba bagi yang berminat ;)

Selasa, 26 April 2011

3 komentar

If I were a Boy

Lagu dari beyonce? Saat ini suasana hati saya, protes yang saya bercuap d kepala saya sangat cocok dengan judul lagu itu, bukan liriknya.

Mengapa perempuan tidak bisa sama dengan laki2? Atau tidak bisa dianggap semampu laki2? kodrat kah?
Saya sungguh sedih, ketika saya merasa saya mampu tetapi terhambat karena saya wanita, dikhawatirkan karena saya wanita. Mengapa gender jadi penghambat?

Saya tahu, mungkin itu hanya anggapan sempit saya saja. Mungkin jika memiliki anak pun saya akan berbuat sama. But still, I wish I were a Boy. Kaum lelaki terlihat seperti burung2 yang terbang bebas d angkasa luar, why can't I fly there? I can! But why won't they believe in me?

Jumat, 04 Februari 2011

4 komentar

Jepang Negara yang Fleksibel atau Konservatif?

Jepang merupakan salah satu bahkan mungkin negara termaju di Asia. Jepang identik dengan kecanggihan teknologi, tetapi siapa yang tidak tahu bahwa pakaian tradisional Jepang adalah kimono? (tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di pikiran saya, pakaian tradisional amerika itu apa). Mungkin juga, sebagian besar dari kita membayangkan sakura, kuil atau rumah tradisional mereka yang akrab dengan tatami dan pintu gesernya yang terbuat dari kayu. Kesan awal saya terhadap Jepang adalah negara yang maju namun tetap menjaga identitas mereka.

Saya mengenal jepang awalnya dari manga, anime atau dorama. Di kisah percintaan, sering kali mengambil setting waktu valentine atau christmast. Setelah menjalani hidup di sini pun, saya jadi mengetahui bagaimana orang Jepang sangat menyukai yang namanya "Party" yang merupakan tradisi barat. Sebagai perbandingan, teman-teman saya yang berasal dari cina juga tidak terbiasa dengan yang namanya party. Selain itu, saya juga mendengar dari teman saya bahwa tingkat free sex Jepang juga semakin meningkat. Teman saya yang menghadiri suatu pesta pun bercerita bahwa beberapa teman Jepangnya terlihat berciuman dengan orang yang seharusnya bukan pacarnya di suatu pesta. Dari situ, saya menilai bahwa Jepang terlalu mengadopsi budaya barat.

Kontras dengan hal tersebut, saya sangat mengalami kesulitan dengan komunikasi sejak saya awal datang 5 bulan lalu. Orang Jepang yang mengerti dan bisa berbahasa inggris relatif sangatlah kecil, bahkan untuk kata-kata ringan. Jika dibandingkan dengan orang Indonesia, saya melihat masyarakat saya lebih bisa mengerti bahasa inggris dibandingkan dengan mereka, setidaknya kaum mahasiswa cukup mengerti bahasa inggris. Saya memiliki tutor dengan keterbatasan bahasa inggris dan tebak, untuk bisa berkomunikasi dengannya, saya menggunakan BAHASA JEPANG. Padahal sebelum datang kemari, kemampuan bahasa Jepang saya 0 besar! mungkin untuk masalah bahasa ini, dikarenakan perbedaan huruf yang cukup signifikan dimana jepang menggunakan hiragana, katakana, dan kanji.

Selain itu, saya baru menyadari betapa kuatnya bargaining power jepang. Tidak ada sekolah internasional di sini seperti di Indonesia . Anak-anak asing masuk ke sekolah yang sama dengan anak-anak Jepang bisa atau tidak bisa bahasa jepang jika mereka ingin bersekolah. Mindset orang-orang jepang juga terbentuk untuk mematuhi hukum. Begitu hukum A ditetapkan, maka tidak ada masalah untuk hukum tersebut diterima di masyarakat, bisa dilihat contoh sukses hukum pembuangan sampah. Dalam presentasi-presentasi atau pun interview perusahaan yang dihadiri mahasiswa yang sedang dalam posisi mencari pekerjaan, mereka semua selalu mengenakan setelan jas maupun blazer hitam. Bukan karena kewajiban karena tidak ada persyaratan dari perusahaan tersebut, namun karena semua orang mengenakannya.

Saya jadi bingung apakah negara ini bersifat fleksibel atau konservatif. Saya cenderung menilai, mereka menerima segala sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyusahkan mereka. Namun, sepertinya trend mulai menunjukkan ke arah flexible dimana pengaruh luar begitu mudah diserap oleh generasi muda sekarang. Saya pribadi berharap Jepang tidak kehilangan identitas asianya di masa depan sehingga image saya terhadap jepang masih tetap sakura, kimono dan kuil.

Rabu, 12 Januari 2011

4 komentar

My best'thing'friends in Nagoya

1. Softbank no Keitai
I love softbank, ini kata-kata yang pernah saya utarakan di awal memiliki handphone ini. Sampai sekarang pun menurut saya, si putih model clamshell nan murah ini memiliki tempat teristimewa di hati saya. Handphone ini membuka komunikasi saya dengan sang kekasih hati dengan pushmailnya (^^;), rasanya jadi seperti seperti dia sering ada di sebelah saya jalan-jalan bareng v(^-^)

2. Biru-chan
Ipod Nano 8gb yang langsung saya panggil si biru imut kemudian berrevolusi menjadi biru-chan. Akhirnya setelah sejak setahun yang lalu impian saya punya ipod kandas oleh keusilan ayah saya yang saya mintai oleh-oleh ketika beliau bepergian ke singapura. Pulangnya sih beliau bawa ipod nano, tapi buat dirinya sendiri. Jelas aja si papah tidak mampu melepaskan ipodnya ke anak-anaknya. Suaranya memang mangstab. Untung saya punya duit sendiri dari beasiswa, jadi bisa beli tanpa rasa bersalah.

3. Internet kamar
Betapa menderitanya sebulan pertama saya di sini, waktu ngenet saya hanya sampai jam 10 malam waktu jepang atau jam 8 malam WIB di lobby residence. Belum lagi dinginnya malam yang menusuk ketika mencuri beberapa waktu numpang ngenet di luar lobby saat lobby sudah tutup. Biaya internet cukup mahal, 3000an yen per bulan. Untung saya sempat gigih mencari tetangga saya untuk share internet bareng. akhirnya, 3000 yen per bulan bisa menjadi untuk 4 bulan karena pemakaian di share untuk empat orang. Setelah punya internet, saya malah kalap,  mbojo sampe jam 2 malem, ooow X_x

4. Nokia E71
Nokia pinjaman, mudah-mudahan jadi pemberian karena saya dengar mamah sudah punya E72 sekarang, menjadi algojo yang membangunkan saya tidur untuk berangkat kuliah. Selain itu, sejak ada internet di kamar, saya jadi lebih leluasa untuk berinternet tanpa harus membuka laptop. Dia juga berjasa dalam menemani saya jalan ketika biru-chan belum ada serta penghubung dengan mamah dengan sms nomor simpatinya.

5. Panasonic Lumix DMC FX-66
Belum punya nama untuk si lumix ungu ini meskipun sudah disuruh sama sasa, sahabat saya. Saya beli di Jepun karena ayah saya itu yang mengatakan cukup dengan kamera hape saja. Tentu saja jauh lebih convenient memotret pake dia daripada dengan 3,2 MPnya E71. Sahabat hura-huranya di sini deh pokoknya b(^-^)d

Minggu, 02 Januari 2011

2 komentar

Waktunya Karaoke!

Tanggal 1 Januari 2011 yang lalu merupakan kali kedua saya karaoke di Jepang. Sebenarnya niat ingin mengulas tentang tempat karaoke ini sudah ada sejak kali pertama karaoke, tetapi  saat pertama kali, ada beberapa hal fatal yang tidak terjepret :p

Tempat karaoke di Jepang cukup menjamur karena merupakan salah satu tempat favorit untuk berkumpul bersama teman-teman melepas lelah. Tidak sulit menemukannya terutama di kota-kota besar seperti Nagoya.  Seperti tempat karaoke di Jogja,  begitu masuk, kita akan menemui meja resepsionis, counter, atau apalah namanya itu untuk pemesanan tempat. Kalau di Indonesia kita membayar ruangan (small, medium, large, family room, dsb) tapi di Jepang kita membayar diri sendiri. Jadi, dicharge per orang per jam, atau per orang untuk 7-8 jam tergantung paketnya. Seperti di Indonesia, Happy hournya siang hari.

Untuk pengalaman pertama saya, saya mencobanya di siang hari, dari jam 2 hingga jam 6 sore sedangkan untuk yang kedua, saya mengikuti pola biasanya teman-teman saya, menghabiskan malam di tempat karaoke. Kali itu, saya berkaraoke dari jam 11an malem hingga jam 5 pagi bersama dengan Mbak Vani, Mbak Rina, Mas Agro, Mas Rizki, dan Alvis.

meja receptionist

Yang khas di Jepang juga, sebagian besar tempat karaokenya nomihodai atau minum sepuasnya. Beberapa tempat ada yang harus membayar pisah dari karaoke untuk dapat nomihodai, ada juga yang sudah include dalam paket. Beberapa tempat juga menyediakan softcream.

drink bar

Bentuk ruangan karaoke, relatif sama lah yaa.... remang-remang cenderung ke gelap gitu dengan sofa, meja, serta layar tv. Layout sedikit berbeda, tapi menurut saya, ini tidak material karena tiap ruangan layoutnya beda-beda. Kebetulan yang saya tempatin berlayoutkan sofa di kanan kiri sisi ruangan.

salah satu ruangan di Joysound- Yagoto

salah satu ruangan di U-style Sakae

Yang berbeda jauh mungkin komputernya.Kalau di Happy Puppy, tempat saya biasa karaoke bersama teman-teman di Jogja, komputernya berupa komputer yang diletakkan di bawah atau dalam meja (hemm, saya tidak menemukan diksi yang tepat untuk ini). Sedangkan di sini, komputernya berbentuk khusus, touchscreen dan nirkable yang bisa dilihat di gambar berikut.

alat untuk pesan lagu

Sejauh yang saya tahu, untuk lagu ada Jepang, Barat serta Korea. Lagu bisa di cari baik melalui huruf hiragana atau alphabet, untungnya di alat itu ada menu bahasa inggris meskipun tidak semua menu tersedia, karena saya tidak bisa menemukan menu bahasa inggris untuk mengetahui urutan lagu yang sudah dipesan.
Untuk koleksi lagu, yaaa..... saya tidak bisa menemukan beberapa lagu yang ingin saya nyanyikan, tapi cukup banyak kok. Jadi tidak usah khawatir tidak bisa bernyanyi di sini kalo bukan lagu Jepang.

Setelah batas jam habis, kami membayar untuk jasa karaoke, nomihodai jika tidak termasuk dalam paket, serta makanan yang kami pesan (jelas laper lah, kalo kita mendem 7 jam sambil nyanyi-nyanyi). Waktu itu saya mengeluarkan duit hampir 2000yen lah secara keseluruhan. Agak mahal ya,, tapi rasanya bener-bener menyenangkan kok, puaaaaasss banget ;)

Oke, sekian dulu ulasan kali ini. Sampai jumpa lagi.